Sering aku dengar dari Nenekku tentang
sebuah danau yang begitu indah. Nenekku menceritakannya dengan begitu bersemangat
seakan ia pernah mengunjungi tempat itu, di dekatnya terdapat sebuah tangga
beralaskan tanah bumi yang begitu menanjak. Dari cerita Nenek yang selama ini
telah aku dengar, aku menyebut tanjakan itu sebagai tanjakan “menuju negeri di
atas awan”, dalam bayanganku tanjakan itu sangat panjang, dan sangat melelahkan
untuk dilalui. Aku melihat di belakang tanjakan itu ada sebuah negeri yang satu
orang pun tidak pernah tahu seperti apa. Aku sempat bermimpi pernah mengunjungi
tempat itu. Aku bermimpi melihat suatu bayangan indah yang bahkan di dunia ini
tidak ada seorangpun yang mampu membayangkannya. Ya, aku mengaranganya sendiri.
Aku mengimajinasikannya sendiri. Sangat indah.
“Kinar, sedang apa? bantu Nenek di
dapur !” teriakan itu membuyarkan lamunan indahku tentang sebuah danau dengan
tanjakan beralaskan tanah di dekatnya.
“Diam saja Nek, ada apa?” tanyaku
tak mau beranjak dari tempat melamunku.
“Sini, bantu Nenek dulu nduk !!” aku
tak menjawabnya, langsung saja aku pergi ke dapur menemui Nenekku tersayang.
“Bantu apa Nenek?” tanyaku manja.
“Ini loh nduk, dipotongin
kecil-kecil ya.... “ Nenek memotong wortel itu kecil-kecil lalu memberikannya
padaku, dan aku meneruskannya dengan cepat karena memang aku sering membantu Nenek
setiap harinya.
“Nek, sekalian Kinar mau cerita ya?”
“Cerita apa nduk?”
“Nek, Kinar ingin pergi ke danau
yang sering Nenek ceritakan pada Kinar, di mana itu Nek? boleh kan Kinar
pergi?” Nenek hanya tersenyum mendengar rengekanku.
“Mau apa? itu kan hanya khayalan Nenek
saja nduk. Sudahlah, lupakan saja ya...”
“Tidak mau... Nenek bohong. Nenek
sendiri kan yang bilang kalau Kinar sudah dewasa. Ayolah, Nek di mana?”
“Sudahlah, lupakan saja. Nenek
capek, ini nasinya sudah matang. Nenek siapkan dulu ya, nanti Kinar makan
duluan, Nenek mau pergi sebentar”.
“Nenek.... “ panggilku, tapi Nenek
tetep saja tidak mengindahkanku. Ia tetap saja pergi meninggalkanku. Entah
kenapa aku merasa Nenek begitu aneh pagi ini. Raut mukanya menunjukkan
ketidaksukaan ketika aku bilang bahwa aku ingin pergi ke Danau itu. Nenek
seperti menyembunyikan sesuatu di balik ceritanya. Bagaimana tidak, ketika Nenek
menceritakan tentang begitu indahnya danau itu, ia seperti bersemangat sekali
dan bahkan wajahnya terkadang ku lihat berseri, pandangan matanya menyorotkan
sebuah kerinduan pada suatu hal yang tidak aku mengerti. Hah... Nenek, Nenek...
memang orang yang paling misterius buatku. Bahkan, Nenek tidak pernah sekalipun
menceritakan tentang kedua orang tuaku apalagi tentang kakekku, yang aku tau
sejak kecil hanyalah kenyataan bahwa aku tinggal berdua bersama Nenek di gubuk
kecil ini. aku menyayangi Nenek seperti aku menyayangi diriku sendiri dan aku
tidak ingin kehilangannya sebelum aku bisa membuatnya bahagia. Berbicara
tentang kebahagiaan Nenek, sekali aku pernah melihatnya menangis tersedu, entah
karena apa. Setahuku, Nenek adalah orang yang paling kuat dan pantang untuk
menangis. Namun, malam itu... dengan jelas aku melihat Nenek benar-benar
menangis. Dalam isakan tangisnya aku mendengar, Nenek mengatakan kumbolo
berkali-kali. Aku bingung apa maksudnya. Apa itu kumbolo?
Dulu Nenek juga pernah mengajariku
tentang yang namanya cinta. Aku sebenarnya tidak mengerti apa itu cinta. Aku
tidak pernah tahu sebelumnya cinta itu makanan khas daerah mana, desa sebelah?
Tapi, kata cinta itu terlalu bagus jika ku definisikan pada makanan. Sampai
akhirnya, ketika aku bertemu dengan seorang pemuda dari desa sebelah aku
merasakan sesuatu yang bagiku... benar-benar baru. Aku merasa begitu senang
bertemu dengannya. Ada perasaan aneh yang menjalar dalam hatiku. Secara
tiba-tiba wajahku akan menjadi panas ketika bertemu dengannya. Ku ceritakan
pada Nenek dan ia menjawabnya begini, “itu yang namanya cinta nduk. Sekarang Kinar
sudah 17 tahun. Kinar sudah dewasa. Berbahagialah. Nah, karena Kinar sudah
dewasa, Nenek tidak akan lagi menceritakan tentang danau itu lagi”.
Aku tahu sesuatu, Nenek berubah
sejak aku menceritakan tentang perasaan anehku ketika bertemu dengan pemuda
itu, dan malam setelah aku menceritakan hal itu, Nenek menangis. Hari-hari
selanjutnya Nenek tidak pernah menceritakan tentang danau itu lagi. Iya benar, Nenek
pasti menyembunyikan sesuatu. Aku harus cari tahu tentang itu.
“Nenek, Kinar mau pergi dulu ya
sebentar.” Pamitku pada Nenek yang sedang menjahit kelambu kamarku yang mulai
rusak. Ia hanya mengangguk. Ada perasaan tak enak yang ku rasa dalam hati.
Sejak kemarin, Nenek seperti mendiamkanku. Ah sudahlah, mungkin perasaanku
saja.
************
“Kanda,
apa kamu pernah mendengar tentang sebuah danau di daerah dekat sini?” tanyaku
pada pemuda yang belakangan hari ini membuatku seperti melambung ke negeri di
atas awan, seperti yang pernah aku ceritakan. Memang itulah yang aku
imajinasikan. Aku merangkainya bisa pergi ke tempat itu dengan pemuda ini.
namanya kanda. Entah sejak kapan, aku dan dia seperti menjadi satu. Tanpa
adanya pengakuan sebelumnya. Aku dan dia telah menjadi sepasang kekasih, begitu
Nenek menyebutnya.
“Danau? yang kanda tahu dekat daerah
sini memang ada sebuah danau. Kinar tidak pernah tahu kah? Bagaimana mungkin? bahkan
itu dekat sekali dengan desamu”. Kanda melihatku tak percaya.
“Benarkah kanda? aku ingin sekali pergi
ke sana. Maukah kau mengantarkanku?” tanyaku penuh harap padanya, setelah
permintaanku kepada Nenek kemarin tidak di perhitungkan.
“Iya, kanda bisa saja.. kapan kita
kesana?”
“Besok lusa bagaimana? Kanda bisa?”
“Iya nanti kita bertemu di sini lagi ya,
jam seperti ini juga. Kanda tunggu”. Segera saja aku mengangguk dan tersenyum
bahagia. Membayangkan bahwasanya aku bisa pergi ke tempat yang dalam
penglihatanku sangat begitu sempurna. Apalagi bisa bersama orang yang mmm...
aku cintai. Pada awalnya untuk mengatakan bahwa aku mencintainya, aku sangat
malu. Aku tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Tetapi, sejak mengenal kanda aku
menjadi merasa lebih dari sebelumnya. Kanda juga sama denganku. Dia hanya
tinggal berdua dengan Neneknya sejak kecil. Oleh karena itu, aku dan dia merasa
cocok dan selalu bisa mengerti satu sama lain. tentang danau yang kanda bilang
dekat dengan desaku. Aku juga masih membingungkannya. Mengapa Nenek tidak
pernah menceritakannya? Bahkan Nenek mengatakan itu hanyalah khayalan Nenek
saja. ah... Nenek jahat, aku harus segera menanyakannya.
“Kanda, aku pulang dulu ya... “
************
“Nenek, Nenek... “ panggilku ketika
sampai di rumah.
Tidak ada sahutan.
“Nenek... “ panggilku lagi.
Kembali tidak ada sahutan. Aku mencari Nenek
ke dapur, tempat tidur, belakang rumah,
tetap saja Nenek tidak ada. Tanpa sengaja, aku melihat sebuah gulungan daun
yang mulai mengering. Aku mengambilnya dan di situ aku melihat...
“Kinar sedang apa?” Nenek secara
langsung mengambil gulungan itu dari tanganku.
“Nenek, apa itu? aku mencari Nenek sejak
tadi. Tapi Nenek tidak menjawab sampai Kinar menemukan daun itu. apa itu nek?
apa arti dari tulisan itu? apa itu kumbolo?”
“Sudah sudah, tidak usah menanyakan itu
lagi. Nenek harus mencari kayu bakar lagi.” Ucap Nenek lalu pergi.
“Nenek, besok aku akan pergi ke danau
itu dengan kanda”.
Langkah Nenek terhenti. Ia balik
menghadapku. Wajahnya berubah menjadi guratan kecewa dan penuh iba.
“Mau apa nduk? tidak, Nenek tidak
mengijinkanmu ke sana”. Nenek mulai terisak. Aku menjadi semakin bingung. Aku
hanya ingin pergi ke tempat yang selama ini Nenek ceritakan dengan begitu
semangatnya. Tapi kenapa Nenek malah melarangnya?
“Kenapa nek? Kinar tidak sendiri, nanti
bersama kanda... nan..”
“Apa?” Nenek memotong pembicaraanku,
“tidak boleh nduk, tidak ada danau itu. hanya khayalan dalam pikiran Nenek
saja”.
“Nenek bohong. Kanda bilang ia tahu
tempat itu dan bahkan sangat dekat dengan desa kita. Kenapa Nenek tidak
menceritakannya dari dulu?”
“Tidak ada yang perlu diceritakan. Nenek
tetap tidak memperbolehkanmu pergi ke sana. Apalagi hanya bersama kanda. Nenek
tidak mau”.
“Tidak nek, Kinar tetap akan pergi, jika
Nenek tidak mau menceritaan sebenarnya apa alasan Nenek melarangku”. Ucapku
lalu pergi meninggalkan Nenek begitu saja. sebenarnya aku tidak tega membuat Nenek
seperti itu. tetapi, di lain sisi aku juga sebal kepada Nenek, kenapa ia
membohongiku sejak kecil? Sebenarnya ada apa? aku hanya ingin tahu itu saja.
dan... gulungan tadi... kembali aku menemukan kata kumbolo. Apa itu kumbolo?
Aku mencari tahu tentang arti kumbolo.
Aku merasa orang yang selama ini dapat ku percaya tentang segala hal yang ada
di bumi ini, yaitu Nenek tidak bisa ku percaya lagi. Sejak kecil, aku memang
jarang berinteraksi dengan teman-teman seumuranku di desa. Aku selalu di rumah
dan menemani Nenek melakukan hobinya, menjahit. Aku mulai dari rumah sebelah
rumahku. Anehnya, ketika aku tanya tentang kumbolo semua orang yang aku tanyai
menjadi diam dan meninggalkanku dengan wajah penuh iba. Sekali lagi aku merasa
menjadi orang paling bodoh karena seperti tidak mengetahui hal yang sudah
banyak orang lain ketahui. Aku semakin bingung dengan keadaan ini. aku tidak
sabar menunggu hari esok agar secepatnya bisa bertemu kanda dan mengajakku
pergi ke danau itu. tentu saja, aku pergi tanpa sepengetahuan Nenek. Karena
pastinya dia tidak akan mengijinkanku. Aku harus pergi pagi-pagi sekali ketika Nenek
pergi ke pasar.
Keesokan harinya, aku segera beranjak
dari tempat tidur dan mengendap-endap keluar dari rumah. Sampai di tempat yang
kemarin, aku lihat kanda telah menungguku dengan senyumannya yang khas. Dia
menyambutku dengan wajah begitu bahagia.
“Ada apa kanda? Kenapa kamu tersenyum
terus sejak tadi?” tanyaku kemudian.
“Tidak apa-apa. aku hanya bahagia sekali
karena akhirnya bisa pergi ke danau itu bersamamu. Ah.. jangan menyebutnya
danau. Danau itu punya nama, namanya ranu kumbolo”.
“Apa? ra.. ranu.. kumbolo?” tanyaku tak percaya.
“Iya Kinar, ranu kumbolo. Ada apa?
“Ah.. tidak, tidak apa-apa? lalu kenapa
senang kanda?” tanyaku lagi mengalihkan pembicaraan. Aku seperti menemukan
titik terang tentang kumbolo yang pernah membuat Nenek menangis.
“Di sebelah barat ranu kumbolo itu, ada
sebuah tanjakan yang orang-orang di desaku menyebutnya tanjakan cinta. Kinar
belum pernah tahu?”
“Belum... memang kenapa kanda dengan
tanjakan itu?” tanyaku semakin
penasaran.
“Jadi, jika nanti kita bisa melewati
tanjakan itu tanpa menoleh ke belakang sedikitpun, maka kita akan berjodoh
dengan pasangan kita. Dan kanda bahagia bisa ke sana bersamamu, Kinar”.
“Benarkah? Kenapa Nenek tidak
menceritakan tentang tanjakan cinta itu pada Kinar, kanda? Padahal itu sangat
menarik sekali. Kinar ingin secepatnya sampai ke tempat itu. ayo kanda segera
berangkat”. Pintaku dan langsung saja kanda menggenggam tanganku lalu berjalan
menyusuri hutan yang ditumbuhi pinus-pinus yang menjulang dengan tingginya. Ini
yang aku suka dari desaku. Kata Nenek, di daerah lain sulit ditemui pohon-pohon
pinus seperti di sini. Dan tentu saja aku bangga dengan itu.
Beberapa menit kemudian, kanda
melepaskan genggamanku. Lalu membiarkanku melihat sekeliling. Sebelumnya aku
tidak melihat apa-apa. tapi, setelah kanda memotong ranting yang ada di
depanku, aku melihat suatu pemandangan yang begitu menakjubkan. Ini benar-benar
seperti surga yang ku imajinasikan kemarin. Benar-benar sama. Aku tidak
percaya.
“Itu apa kanda?” tanyaku.
“Itu yang namanya ranu kumbolo, Kinar
dan di sebelah barat itu tanjakannya”. Kanda menjawab pertanyaanku lalu
menunjuk sebua tanjakan yang beralaskan tanah bumi yang begitu tinggi, negeri
di atas awan. Iya, aku ingat. Tanjakan itu yang ku sebut sebagai tanjakan
menuju negeri di atas awan kemarin, tenyata tanjakan itu memiliki nama tanjakan
cintaa.
“Ayo kanda kita harus pergi kesana. Aku
ingin segera melewatinya”. Seruku.
Sebelum aku beranjak pergi, kanda
menahan tanganku. Ia lalu bercerita bahwa ketika melewati tanjakan itu, aku
tidak di perbolehkan untuk berjalan di belakangnya dan aku harus selalu dalam genggamannya.
Dan ketika kutanya kenapa, kanda hanya diam saja lalu tersenyum. Aku
menangkapnya sebagai gurauan, tapi tidak ku tunjukkan. Aku menggangguk saja
setelah mendengarnya. Begitu sampai di kaki tanjakan itu, rasa bahagia semakin
membuncah dalam hatiku. Nenek pasti akan sangat bahagia begitu ia tahu, cucunya
mampu melewati tanjakan ini bersama kekasihnya. Sepulang nanti aku akan
menceritakannya pada Nenek. Aku yakin Nenek akan urung memarahiku. Aku yakin.
“Siap Kinar?” Kanda melihatku, di balik
sorot matanya aku melihat ada sebuah rasa kekhawatiran yang begitu besar di
dalamnya. Entah apa itu aku tidak mengerti, yang aku tahu sekarang, aku
akhirnya bisa berada di tempat yang selama ini hanya ada dalam lamunanku. Kanda
semakin mempererat genggamannya.
“Siap kanda”. Jawabku penuh keyakinan.
**************
Saat ini, aku berada di tengah-tengah
tanjakan. Sebentar lagi aku dan kanda akan sampai pada puncaknya, dan aku akan
berdoa kepada Tuhan semoga keyakinan yang selama ini dipercayai dapat terwujud,
aku dan kanda bisa bersatu selamanya. Sebenarnya aku ingin sekali melihat ke
belakang. Tetapi, aku juga tidak ingin kepercayaan itu hilang hanya karena
keinginan kecilku itu. aku melihat kanda di sebelahku, genggamannya masih tetap
kuat. Jujur saja aku sudah capek sejak tadi. Tetapi genggamannya membuatku untuk
tetap kuat. Aku yakin aku bisa melaluinya. Sampai akhirnya, kakiku aku rasa
kaku. Kakiku tidak bisa aku gerakkan. berat.. aku minta kanda untuk
membiarkanku istirahat sebentar dan menyuruhnya melanjutkan perjalanan sampai
di atas puncak tanjakan itu. tapi kanda menolaknya. Aku pun juga bersikeras
tetap memaksanya untuk meneruskan perjalanan. Awalnya kanda merasa sedih, tapi
aku tetap menyemangatinya dengan mengatakan bahwa aku akan segera menyusulnya
di atas.
“Kanda pergi saja ke atas, nanti Kinar
akan menyusul kanda. Tenang saja. Kinar tidak apa-apa. oya, kanda jangan pernah
menoleh ke belakang ya apapun yang terjadi. Meskipun Kinar memanggil kanda
nanti. Karena Kinar ingin bisa selamannya bersama kanda. Bisa kan kanda?”
“Tetapi nanti Kinar harus menyusul kanda
ya, kanda yakin Kinar bisa”.
Aku tersenyum saja mendengarnya. Aku
bisa melihat dengan jelas, bahwa kanda memang benar-benar sangat menginginkanku
untuk tetap berada di sisinya. Tapi, jika ku biarkan ia menungguku di sini. Aku
takut hari semakin sore dan akhirnya sebelum mencapai puncak kita sudah harus
segera pulang. Pikirku, setelah melihat kanda sampai di puncak sana aku akan
semakin termotivasi untuk menyusulnya.
“Sudah berangkat saja, kanda. Ingat
jangan menoleh ke belakang apapun yang terjadi” ingatkanku sekali lagi. Ia
hanya mengangguk dan mengecup keningku. Sekali lagi, aku tersenyum bahagia.
Ketika ku lihat kanda mulai menjauh. Aku
membuka gulungan daun yang ku ambil pagi tadi ketika Nenek tidak di rumah. Aku
masih penasaran dengan isinya. Diam-diam aku mengintip Nenek ketika akan
menyimpannya.
Ranu kumbolo, tempat dimana kita
bertemu dan akhirnya mempersatukan cintamu denganku. Namun mengapa tempat itu
juga yang membiarkanku harus rela kehilanganmu?
Tanjakan di sebelah barat itu, kamu
tahu? Sekarang telah bernama menjadi tanjakan cinta. Tanjakan di mana aku harus
siap menerima kenyataan bahwa engkau meninggalkanku untuk selamanya karena
menyelamatkan nyawaku.
Tanjakan cinta yang mereka bilang,
tanpa mereka sadari sangat menyakitiku.
Bagaimana mungkin tragedi itu bisa
membuat mereka menyebutnya sebagai tanjakan cinta?
Ranu kumbolo, kita bertemu.
Ranu kumbolo, kita berpisah.
Apa kamu setuju dengan tanjakan
cinta itu?
Aku takut anak-cucuku
mempercayainya dan selanjutnya akan sama dengan orang-orang setelah kita yang
mecoba untuk melaluinya.
Apa maksudnya ini? aku berusaha
mengingat kembali apa yang diceritakan oleh kanda tadi sebelum berangkat. Kanda
hanya bilang bahwa aku tidak diperbolehkan untuk berjalan di belakangnya,
kenapa? Ada apa dengan Nenek sebenarnya? Kenapa di sini tertulis bahwa
seseorang telah menyelamatkannya.
“Kanda !!” teriak ku tanpa sadar. Ia
tidak menoleh. Aku panggil lagi, ia tetap tidak menoleh. Aku seperti merasa
tertahan. Tubuhku menjadi sulit untuk ku gerak kan. aku menyadari sesuatu. Apa
mungkin, orang yang menjadi awal dari kisah ini adalah Nenek dan kakek ku? Nenek
memangis dengan selalu menyebut kumbolo. Nenek juga tidak pernah mau membahas
tentang danau dan tanjakan ini. jadi apa benar Nenek yang telah membawa kisah
ini? “kanda !!” panggilku lagi. Aku berusaha untuk mengangkat tubukhu agar
segera menyusulnya dan mematahkan kisah ini. tetapi aku rasa sulit. Aku tidak
bisa mengangkat tubuhku, tiba-tiba ku rasakan tanah yang ku pijaki bergerak
perlahan, perlahan, cepat dan ku lihat kanda menghilang.
“Kanda?”
Komentar
Posting Komentar