Jam masih menunjukkan pukul 06.10
menit. Tetapi, gadis bersweeter
coklat itu sudah datang. Aku melihatnya setiap pagi di musholla sekolah. Pernah
sekali aku melihatnya menangis lalu bersujud dengan mukenahnya yang masih ia pakai.
Jujur saja, aku datang
sepagi ini karenanya, karena aku ingin mengenalnya. Entah, aku juga tidak tahu kenapa dia bisa
membuatku berubah seperti ini. Dari aku yang awalnya selalu telat sampai di sekolah, menjadi aku
yang selalu datang kepagian, setidaknya itu menurutku. Gadis itu… murah senyum.
Tapi, aku merasa dia menyimpan sesuatu di balik senyumnya yang
selalu ia sunggingkan. Aku ingin sekali menemaninya. Tetapi, itu sangat tidak
mungkin. Aku tidak bisa mendekatinya meskipun sebenarnya aku sangat ingin.
Oh,
Tuhan… ini tidak adil. Kenapa harus aku? Tidak boleh aku menyimpan rasa ini
pada gadis itu. Ada sekat dan aku tidak mungkin menghilangkannya. Karena aku yakin dia pasti juga
tidak akan menerima kehadiranku dalam hidupnya. Tetapi, sangat sulit jika aku harus
membuang rasa ini jauh-jauh. Ini hal pertama buatku. Tuhan, tolong aku. Berikan
aku yang terbaik. Aku harus berbuat sesuatu. Aku tidak mungkin membiarkannya
selalu tersenyum di balik
hatinya yang sedang gundah. Aku tidak ingin melihatnya seperti itu. Tuhan, aku... aku... sayang dia. Biarkan aku
mendekatinya dengan caraku sendiri.
“Dre…. Sedang apa disini? bukan tempatmu… Ooh.. aku tau pasti kamu
sedang memperhatikan cewek itu ya…? ayo jawab… !! kamu suka dia?” tanya temanku, David
yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku, entah sejak kapan dia di sini.
“Ngagetin
aja kamu tuh. Iya, memang
kenapa? tidak boleh? suka-suka aku dong
!!” jawabku
sekenanya.
“Biasa
saja dong… aku kan
cuma tanya. memang
kamu tau namanya?”
“Aku tidak tau namanya… memang siapa?” tanyaku datar. Padahal
dalam hati aku sangat senang jika seandainya David tahu nama gadis itu.
“Ahh…
gimana sih…
namanya tuh Disha, dia ketua Sekbid
Kerohanian. Masa kamu tidak tahu?”
“Iya aku tahu, tapi aku tidak tahu namanya, yaudah ke
kelas yuk !! lagian dia juga sudah selesai dan mau balik ke kelas. Ayo buruan
sebelum dia lihat kita di sini.”
Ajakku pada David saat ku lihat dia keluar dari mushollah.
“Ayok !!”
Sampai di kelas, aku masih saja
memikirkan gadis itu, gadis yang baru ku tahu
namanya pagi tadi. Disha, ya namanya Disha… indah sekali. Seperti orangnya.
Jarang ada cewek yang seperti dia. Kalem, lembut dan sederhana. Aku suka
gayanya ketika berjalan, aku suka caranya berbicara meskipun aku melihatnya
hanya dari jauh. Aku suka semua yang ada pada dirinya. Tapi…
“Hei…
kenapa lagi guys? masih memikirkan Disha?” David, sahabat ku sejak kecil
yang selalu mengagetkanku dengan kedatangannya yang mendadak.
“Iya
nie… aku tidak
bisa melupakan dia.” jawabku jujur karena
David adalah orang yang dapat aku percaya.
“Kamu benar-benar suka
dia?” tanya David tak percaya.
“Aku juga tidak tahu, tetapi aku selalu saja
memikirkannya. Meskipun aku tahu
aku tidak mungkin memilikinya…
lalu apa itu namanya jika bukan suka? Aku pikir bukan hanya sekedar suka. Tetapi, aku juga sayang
dia. Dia mengubah hidupku yang selama ini kurasa hampa menjadi lebih berwarna.”
jawabku sekali lagi
dengan jujur, aku sudah tidak bisa menahan semua yang ada di hati ini, sangat
menyiksa. Hal apalagi yang paling menyakitkan di dunia ini selain menyayangi
orang yang tidak
seharusnya kita sayangi?
merasakan suatu perasaan
yang hanya untuk menemukan jawaban bahwa perasaan itu tidak dapat dibiarkan
lama.
“Puji
Tuhan, akhirnya kamu
mulai jatuh cinta, Sahabat !! meskipun, rasamu itu pada orang yang salah. Tidak
apa-apa. Aku akan membantumu mengubah perasaan itu menjadi perasaan yang benar,
percayalah selalu ada jalan menuju Roma !!” David memang sahabat terbaik yang aku miliki. Jawabannya
dapat membuatku jauh lebih tenang.
“Makasih, Sahabat !! aku berhutang
budi kepadamu. Jika aku bisa melakukannya sendiri, aku tidak akan pernah
membiarkanmu sibuk memikirkan masalahku ini. You’re the best !!”
“Iyah… kita selamanya !!”
Hari-hari selanjutnya, aku
lalui masih saja dengan pikiran yang di penuhi tentangnya. Aku
benar-benar tidak bisa melupakannya sedetik pun. Setiap hal yang aku lakukan selalu ku kaitkan dengannya.
Bahasa Indonesia ada kalimat “di sana
diriku selalu menunggumu” aku
ubah menjadi “Disha, diriku selalu menunggumu”
Hemm… sangat-sangat
menyiksa. Aku ingin segera menyatakannya. Tapi, dengan apa? aku
bisa apa? bolehkah
aku mencintainya, Tuhan? maafkan
aku, tapi rasa ini Engkau yang ciptakan. Aku hanya menjalaninya saja dan aku harus berjuang
untuk mendapatkannya.
*********
Jam pelajaran fisika tadi, aku
habiskan hanya untuk mencari jalan bagaimana caranya agar aku bisa sekedar talking dengannya. Dan aku mulai menemukan
caranya… tak sabar aku
menunggu hari esok untuk memulai semua mimpi yang sudah aku rangkai dalam angan.
Aku harus memberitahu David tentang ini. Pasti dia juga akan ikut senang. Sebelum itu, besok pagi aku harus berdoa dulu kepada
Tuhan untuk menjalankan rencanaku untuk Disha.
“David….
!!” panggilku ketika ku lihat dia berjalan ke kantin sekolah.
“Ada apa?” tanyanya dari
jauh.
“Aku sudah menemukan
caranya… begini… “
“Ide yang bagus, Dre… aku
yakin dia tidak
akan tahu kamu siapa.” support
David. Aku
tersenyum bahagia mendengarnya.
Tunggu aku, Disha !!
Keesokan harinya lagi, aku datang lebih pagi dari
Disha, ke mushollah dan meletakkan kertas yang sudah ku tuliskan sebuah puisi
untuknya. Aku harap dia akan menyukainya. Aku harus cepat-cepat pergi sebelum dia
datang dan akhirnya
melihatku disini. Beberapa menit kemudian ku lihat Disha datang. Manis sekali. Andai
saja kau sama denganku. Akan aku
raih kau dalam dekapku, dan... yang kutunggu-tunggu
akhirnya terjadi juga. Dia mengambil surat itu lalu membacanya…
Cinta.. siapa yang tahu kapan
hadirnya.
Begitu juga dengan perasaan ku saat
ini…
Cinta.. siapa yang tahu akan pada
siapa merasakannya.
Begitu juga dengan perasaan ku saat
ini…
Disha, aku memang tak pernah
mengenalmu…
Tapi, kau mampu membuatku mengenal
keadaan disekitarku.
Disha, kau memang tak tau aku.
Tapi, dengan kau baca ini saja aku
telah merasa kau mengenalku…
Disha, maafkan aku jika aku mengusik
hidupmu…
Tak ada maksud.
Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Ku harap kau mengerti perasaan
ku, Disha…
Disha
bingung. Yah… dia bingung. Pasti dia sedang mencari tahu siapa yang meninggalkan
surat itu untuknya. Ah… aku ingin sekali menghampirinya dan berkata, “Aku harap kamu akan
bahagia setelah mengetahui siapa yang memberimu surat itu, karena
orang itu adalah aku. Yah aku… kenalkan... aku Andre”
Hemm… tentu saja itu
hanya ada dalam bayangan ku. Oh, Disha… dia berjalan ke sini. Apa dia tau kalau
sedari tadi aku memperhatikannya disini? jangan
sampai. Aku belum siap melihat reaksinya nanti setelah tau bahwa yang memberinya surat
itu adalah aku. Aku harus lari. Tapi, sialnya….
Braaakkkkkkk…….!!!!!
“Kamu
tidak apa-apa kan?” Disha,
menolongku. Dia barusan menanyaiku. Oh Tuhan. Bukan mimpikah ini? nyatakah? ku cubit lenganku dan
kurasakan sakit. Iya ~ ini nyata.
“Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya
sekali lagi karena aku hanya diam.
“Iya, makasih…” kataku
lalu bangkit tapi, ahh ~ pergelangan kakiku sakit. Aku tidak bisa menggerakkan
kakiku.
“Kamu benar tidak apa-apa? kita ke UKS saja ya! sebentar, aku panggilkan teman-teman yang lain dulu.”
katanya lalu pergi.
Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan teman-temannya
yang menurutku adalah anak UKS yang sedang piket, kelihatan dari baju yang
mereka pakai.
“Minta tolong antarkan dia ke UKS ya, pergelangan kakinya
terkilir.” ucap Disha membuatku kecewa, karena ku pikir dia yang akan
mengentarkan aku ke UKS. Yah.. harusnya aku sadar dari awal bahwa agama dia
tidak memperbolehkan seorang perempuan dan laki-laki berdekatan. Benarkah
seperti itu? Ah.. apalah itu namanya yang jelas aku kecewa, karena selain bukan
Disha yang menolongku ternyata dia juga sepertinya tidak mengerti bahwa surat
itu aku yang membuatnya. Harusnya aku senang, karena aku tidak ketahuan. Tetapi
kenapa sekarang aku sangat-sangat ingin agar Disha mengetahui siapa yang
memberinya surat itu? aku ingin Disha tau, bahwa aku memang menyukainya dan
surat itu, aku yang membuatnya. Disha... mengertilah....
“Ayo Mas !!” ajak anak UKS di depanku yang bernama dada Rian,
lalu membantuku berjalan ke UKS.
Disha berjalan di belakangku. Entah apa yang sedang ia lakukan. Mungkin Tuhan memang tidak mengijinkanku
untuk mendekatinya. Aku dan dia berbeda. Cukup sudah !! seharusnya aku sadar
dari awal.
**************
“Hei guys... kenapa
lagi denganmu? masih samakah dengan hari kemarin?”
“Aku bingung, Vid. Sepertinya aku menyerah saja. Dia dan
aku itu berbeda. Dia tidak mungkin bisa menerimaku...” Ucapku pasrah.
“Kenapa begitu? kenapa kamu putus asa secepat ini? hei...
mana Andre yang pernah ku kenal dulu? ayo dong jangan menyerah seperti ini. Aku
tau bagaimana perasaanmu. Aku tau bagaimana kamu sangat mencintai dia. Sadar,
dia yang membuatmu berubah seperti saat ini, dan jujur aku sangat suka dengan
gayamu yang sekarang. tidak seperti dulu lagi. Sangat-sangat introvert...”
David.. sekali lagi David yang selalu menguatkanku.
Tuhan...langkah apa yang harus aku ambil? lalu bagaimana
jika orang tuaku nanti sampai tahu tentang perasaanku ini? bagaimana aku
menyembunyikannya? Tuhan.. beri aku petunjuk.
“Oke, Vid... makasih ya.. aku tidak akan berhenti sampai
disini kok !!”jawabku lalu pergi meninggalkannya. Aku tidak tahu sebenarnya apa
yang akan aku lakukan. Tetapi entah kenapa saat ini aku pergi dengan langkah
yang begitu mantap. Tidak tahu nantinya langkahku akan berhenti di mana, yang
aku tahu Tuhanlah yang membawaku pergi.
***********
“Disha, tunggu !!”
“Iya, ada apa? eh.. maaf apa kita pernah bertemu
sebelumnya?
“Ak.. a.. aku.. yang tadi itu loh.. hehe..”
“Oalah.. kamu yang tadi jatuh dekat mushollah itu kan?
ada apa?” tanyanya membuat gugupku menjadi hilang. Ini yang aku suka dari dia,
dia sangat welcome terhadap orang
lain.
“Aku boleh minta waktu sebentar tidak? aku ingin bicara
serius denganmu.” tanyaku.
“Iya boleh, ada apa?”
“Eh... kamu... aku ingin bilang, kalau aku sebenarnya..
suka sama kamu.” akhirnya aku bisa juga mengeluarkan kalimat itu. Aku lihat wajah
Disha, memerah dan sepertinya dia ingin tersenyum. Hatiku melambung.. aku
merasa dia akan menerima pernyataanku. Iya... aku yakin dia akan menerima
pernyataanku. Tuhan, terimakasih...
“Aku.. sebelumnya aku minta minta maaf, tapi aku tida
bisa Ndre...” Jawaban Disha tertahan
seketika. Raut wajahnya berubah. Begitu juga pun wajahku. Aku tidak tahu,
kenapa jawabannya sangat meleset dari perkiraanku. Aku rasa semua usahaku
selama ini terbuang sia-sia. Entah, aku sudah menyadarinya dari awal. Tetapi,
kenapa aku tetap saja membiarkan hal ini terjadi? Oh.. Tuhan.... !! Apa ini?
“Disha, kalau boleh tahu kenapa kamu
tidak bisa?” tanyaku penuh hati-hati.
“Aku tidak bisa menceritakannya,
maaf.. aku harus pergi.” ku tahan langkahnya, sebelum ia benar-benar pergi. Aku
ingin melihat bagaimana reaksinya yang sebenarnya. Tidak tahu kenapa, aku
merasa yakin kalau dia sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Aku yakin itu. Matanya, matanya sangat tidak bisa berbohong.
“Aku mohon, beri aku penjelasan !
setelah itu aku akan membiarkanmu pergi, aku janji..” pintaku penuh harap. Aku
memandangnya lekat-lekat. Lalu, bulir-bulir kecil mengalir dari kedua sudut
matanya. Disha menangis.
“Dish, aku minta maaf. Aku minta
maaf jika pertanyaanku hanya membuatmu menangis. Tapi aku hanya ingin tahu.
Sebenarnya ada apa denganmu? aku tahu kamu sedang memiliki masalah, iya kan?
ceritakan padaku...” aku tidak tahu, apa yang aku lakukan saat ini, benar atau
tidak. Aku hanya ingin Disha tahu bahwa aku peduli terhadapnya, aku ingin Disha
tahu bahwa aku tidak ingin melihatnya bersedih. Aku ingin Disha tahu bahwa aku
selalu ingin berada di dekatnya.
“Aku.. kalau kamu tahu.. aku juga
tidak ingin memiliki kehidupan yang seperti ini. Tetapi, aku juga tidak ingin
kehilangan keluargaku... aku.. aku sayang mereka... “ kembali Disha menangis.
Aku menjadi iba melihatnya. Aku dudukkan ia pada bangku yang berada di sebelah
kanannya. Aku tidak tahan melihat orang pertama yang aku sayangi di dunia
setelah Ibuku, menangis tepat di hadapanku. Ku usap air mata yang mengalir dari
kedua matanya.
“Aku.. tidak bisa menerimamu, maaf. Aku sebenarnya
sudah...”
Disha,
malaikatku...
Maafkan aku...
Maafkanku
terlambat datang untuk menyelamatkanmu..
Maafkan aku
baru mengerti, bagaimana sebenarnya perasaanmu.
Disha,
malaikatku...
Aku hanya
ingin kamu tahu bahwa aku ingin selamanya berada di dekatmu.
Aku hanya
tidak ingin membiarkanmu berjalan sendiri di dunia ini...
Aku takut...
Aku
khawatir...
Aku tidak mau
kamu terluka sedikitpun...
Cukup saat
ini.
Au tidak akan
membiarkanmu merasakan hal itu lagi...
Tuhan... apa yang harus ku lakukan? Engkau tahu, aku
sangat menyayanginya. Berikan aku petunjuk. Biarkan aku tetap bersamanya, tanpa
harus meniggalkanMu. Bagaimana caranya agar aku tetap bisa dengannya? Tuhan..
Engkau maha tahu, apa yang akan terjadi pada masa depanku dan Disha nantinya,
aku mohon... lindungi Disha. Sayangi dia, seperti Engkau menyayangiku.
“Sayang.. ayo... sudah malam.” Mama mengingatkanku.
“Iya ma, ayo... “ jawabku.
“Berdoa apa sayang? Sepertinya serius sekali. Boleh mama
tahu?”
“Ma, bagaimana kalau seandainya Andre menyukai orang yang
tidak seharusnya Andre sukai?”
Mama terdiam. Aku mulai gundah kembali, “maksudnya
bagaimana sayang?” tanya Mama kemudian.
“Ma, Andre jujur saja. sebenarnya Andre menyukai teman
sekolah Andre yang beragama Islam. Salahkah perasaan ini, Ma?” tanyaku.
“Siapa? Mama tidak akan menyalahkan perasaan itu sayang,
tetapi seharusnya kamu mengerti bagaimana situasinya. Kamu harus mengerti bahwa
kalian tida akan bersama. Mama yakin, dari awal kamu sudah pasti tahu ini dari
awal kan? Mama yakin, kamu sudah tahu mana jalan yang seharusnya kamu ambil.
Mama percaya kok sama anak Mama ini.” jelas mama panjang lebar. Jujur, aku
sedikit tenang mendengarnya. Mama tidak menentang sedikitpun tentang perasaanku
ini, “sudah... jalanmu masih panjang..” kata mama lagi. Aku hanya tersenyum.
Aku seperti menemukan kembali diriku yang dulu, bagaimana aku sangat
bersemangat sekali untuk mendapatan cinta Disha, dan iya.. aku siap dengan apa
yang akan terjadi. Tidak sabar aku ingin segera menyambut hari esok bersama
perasaan dan pandangan baru. Aku berjanji akan membawa Disha pergi dari
penderitaanya selama ini.
“Mama... terimakasih... “
Mama hanya tersenyum simpul.
Komentar
Posting Komentar